Psikologi Manajemen: Sikap Kerja
& Kepuasan Kerja II
·
HUBUNGAN
PELAKSANAAN KERJA DAN KEPUASAN KERJA
Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu
organisasi, institusi maupun perusahaan mempunyai seperangkat keinginan,
kebutuhan , hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu
harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini
akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang
didapatkan ditempat bekerja. Persepsi pekerja mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja melibatkan rasa aman, rasa adil, rasa
menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan.
Keyakinan bahwa karyawan yang terpuaskan akan lebih
produktif daripada karyawan yang tak terpuaskan merupakan suatu ajaran dasar
diantara para manajer selama bertahun-tahun (Robbins, 2001:26).
Menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko (2001:196)
kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh
kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada
gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering
melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi
tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan
kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang
lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang
berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan
kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan
maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam
lingkungan kerja perusahaan.
Peningkatan kepuasan kerja karyawan pada suatu
organisasi tidak bisa dilepaskan dari peranan pemimpin dalam organisasi
tersebut, kepemimpinan merupakan kunci utama dalam manajemen yang memainkan
peran penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan, pemimpin
merupakan pencetus tujuan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan
mengendalikan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tujuan perusahaan
dapat tercapai secara efektif dan efisien.
Kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai
suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari
sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya (Handoko, 2001 : 291). Oleh
sebab itu pemimpin suatu organisasi perusahaan dituntut untuk selalu mampu
menciptakan kondisi yang mampu memuaskan karyawan dalam bekerja sehingga
diperoleh karyawan yang tidak hanya mampu bekerja akan tetapi juga bersedia
bekerja kearah pencapaian tujuan perusahaan.
Setiap karyawan memiliki keinginan untuk
mengimplementasikan pengetahuan, keahlian dan pendidikan yang didapatkan
sebelumnya kepada perusahaan dimana mereka bekerja. Jika mereka tidak mampu
mengaplikasikannya, mereka akan menjadi tidak puas dan pada akhirnya akan
mempengaruhi lama bekerja (length of employment), hal ini bisa dikaitkan
dengan loyalitas karyawan. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan
prestasi kerjanya maka mereka akan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak
memiliki tendensi untuk berpindah pekerjaan di tempat lain (Siehoyono, 2004).
Menurut Miller (1991), kepuasan karyawan adalah
suatu ukuran kepuasan dari tiap personel dengan peran yang berbeda dalam organisasi
dan meliputi keterlibatan perusahaan (company involvement), keuangan dan
status kerja (financial dan job status), dan kepuasan
kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction).
1.
Hubungannya dapat dilihat dari beberapa pengaruh, diantaranya:
a. Pengaruh Antara Kerja Sama (teamwork)
Dengan Kepuasan Karyawan. Greenberd dan Baron (2003) menyatakan bahwa team
adalah suatu kelompok yang anggotanya memiliki keahlian yang saling melengkapi
dan masing-masing berkomitmen kepada tujuan yang sama (Siehoyono, 2004). Kerja
sama yang saling menguntungkan dan mendukung dalam suatu organisasi, akan
menimbulkan kepuasan tersendiri pada anggota kelompok itu sendiri. Dari studi
yang dilakukan oleh Loveman (1998) terhadap bank retail disimpulkan bahwa kerja
sama adalah salah satu faktor yang memberi kontribusi atas kepuasan karyawan
selain kualitas perusahaan, penghargaan dan fokus konsumen. Kesimpulan ini juga
didukung pernyataan dari Heinhuis et al.,(1998).
b. Pengaruh Antara Kesesuaian Terhadap Pekerjaan (employee
job fit) Dengan Kepuasan Karyawan.Advantage Hiring, Inc mendefinisikan
kesesuaian kerja sebagai karakteristik dari lingkungan kerja (Mozkowitz, Get
“FIT” to reduce turnover, n.d.). Menurut O’Reilly, Chatman, & Caldwell
(1991), tujuan perusahaan yang menyatu kepada tujuan karyawan secara perorangan
akan menjadikan karyawan merasa sayang untuk pergi (Mozkowitz, Get “FIT” to
reduce turnover, n.d.). Namun sebaliknya, karyawan yang merasa tidak cocok
dengan tujuan perusahaan cenderung tidak puas dan meninggalkan perusahaan
(Lovelace dan Rosen, 1996). Semakin tinggi kesesuaian terhadap pekerjaan, maka
akan semakin kecil penyimpangan terhadap performa kerja.
c. Pengaruh Antara Kesesuaian Terhadap Teknologi (technology
job fit) Dengan Kepuasan Karyawan.Kesesuaian terhadap teknologi berkaitan
dengan ketepatan terhadap alat atau teknologi yang digunakan dalam bekerja.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat antara technology job fit
dengan employee satisfaction (Corbet et al., 1989). Dengan kata lain, penggunaan
teknologi yang sesuai akan menjadikan pekerjaan tersebut efisien dan
menimbulkan rasa puas dalam diri karyawan. Semakin tinggi kesesuaian terhadap
teknologi, maka akan semakin besar komitmen pada perusahaan.
d. Pengaruh Antara Kemampuan Kontrol Diri (perceived
control) Dengan Kepuasan Karyawan → Kemampuan kontrol diri mewakili
hubungan antara reaksi individu terhadap tekanan dan kemampuan untuk
mengendalikan situasi tersebut (Zeithaml et al., 1991). Menurut Averill (1973,
dikutip dari Zeithaml et al., 1991) ada 3 bentuk kontrol yaitu: (1) kontrol
perilaku yaitu kemampuan untuk memberi respon yang mempengaruhi situasi yang
mengancam; (2) kontol kognitif yaitu kemampuan untuk mengurangi tekanan sesuai
informasi yang diproses, dan (3) kontrol keputusan melibatkan seleksi atau
pemilihan tujuan. Semakin tinggi kemampuan kontrol diri, maka akan semakin
besar komitmen pada perusahaan.
e. Pengaruh Antara Sistem Pengontrolan Pengawasan (supervisory
control system) Dengan Kepuasan Karyawan. Definisi sistem pengontrolan
pengawasan adalah untuk menentukan aktivitas mengawasi karyawan, selain itu
juga mencakup dukungan sosial (Zeithaml et al.,1991). Dalam kondisi yang
sederhana, sistem pengontrolan pengawasan merujuk pada tingkat dimana perilaku
karyawan di evaluasi lebih dibandingkan kuantitas output. Menurut Butler
(1999), pengawasan mempunyai peran penting dalm mengkoordinasikan kerja sama
diantara karyawan (kesatuan grup dapat didukung dengan efisiensi oleh para manajer).
Semakin baik system pengontrolan pengawasan, maka akan semakin tinggi kerjasama
dan kepercayaan karyawan terhadap manajer (Siehoyono, 2004).
f. Pengaruh Antara Konflik Peran (role conflict) Dengan
Kepuasan Karyawan. Ketika individu dihadapkan pada peran yang menyimpang dari
harapan, hasilnya adalah konflik peran (Robbins, 1996). Konflik peran adalah
suatu situasi yang terjadi jika sesorang diharapkan untuk memerankan dua peran
yang bertentangan. Perubahan yang sering terjadi terhadap lokasi kerja, jumlah
staff pendukung dan tanggungjawab pengawasan diidentifikasikan oleh Kahn et
al., (1964) sebegai penyebab adanya konflik yang salah satunya adalah konflik
peran (role conflict). Konflik yang tidak kunjung terselesaikan akan
mempengaruhi performa kerja (Bernard & White, 1986), dan konsekuensinya
adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et al., 1964). sebegai penyebab adanya
konflik yang salah satunya adalah konflik peran (role conflict). Konflik
yang tidak kunjung terselesaikan akan mempengaruhi performa kerja (Bernard
& White, 1986), dan konsekuensinya adalah penurunan kepuasan kerja (Kahn et
al., 1964).
g. Pengaruh Antara Ambiguitas Peran (role
ambiguity) Dengan Kepuasan Karyawan. Ambiguitas peran dalam perspektif
karyawan oleh Mills dan Margulies mengacu secara khusus kepada situasi yang
tidak jelas mengenai bagaimana menjalankan peran dalam organisasi. Ambiguitas
peran dihasilkan dari ketidakpastian seseorang tentang harapan mereka dari
pekerjaan yang diberikan (Werther dan Davis, 1996). Penelitian yang dilakukan
oleh Kahn et al., (1964), menyatakan bahwa peran dalam organsasi yang
perkembangannya terus berubah akan menimbulkan ketidakjelasan peran karena
ekspektasi yang ada juga sering berubah. Ketidakmampuan dalam menghadapi
ambiguitas peran merupakan salah satu penyebab tekanan dalam bekerja (Rizzo et
al., 1970), dan juga berpengaruh pada penurunan kepuasan kerja karyawan (Fisher
& Gitelson, 1983; Jackson & Schuler, 1985; Lamble, kepuasan kerja
karyawan 1980, Igbaria & Guimaraes, 1993 dikutip dari Chambers, Moore &
Bachtel, n.d.).
2.
Hubungan Antara Tipe Perilaku dengan Kepuasan Kerja
Setiap manusia selalu menunjukkan tipe perilaku yang
berbeda antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Oleh karena itu
manusia dikatakan sebagai makhluk yang memiliki keunikan tersendiri. Tipe
perilaku merupakan deskripsi tentang penampilan individu dalam melakukan
berbagai aktivitas kehidupannya sehari-hari, termasuk penampilan seorang
karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Tipe perilaku ini dibedakan atas 2
tipe, yaitu tipe perilaku A dan tipe perilaku B. Tipe perilaku A digambarkan
sebagai seorang karyawan yang secara kontinu berjuang untuk mendapatkan terlalu
banyak dalam melaksanakan pekerjaan mereka, dalam waktu yang terlalu sedikit
ataupun dengan melewati terlalu banyak hambatan pada saat mereka melaksanakan
pekerjaannya.
Karyawan yang memiliki tipe perilaku A rentan
terhadap gangguan koroner. Akibat efek genetik ataupun efek-efek pengalaman
terdahulu seorang karyawan, karyawan dengan tipe perilaku A akan menunjukkan
respons susunan saraf otonom yang berlebihan secara tidak normal dalam keadaan
terancam. Adanya ketergesaan persaingan serta peningkatan stres yang
menyertainya akan meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan memberikan
kontribusi bagi kemungkinan timbulnya penyakit jantung koroner. Dengan demikian
seorang karyawan yang mempunyai tipe perilaku A lebih banyak mengalami
kesulitan dalam bekerja. Keadaan ini menyebabkan timbulnya rasa ketidak puasan
di dalam bekerja.
Sedangkan karyawan yang memiliki tipe perilaku B
adalah mereka yang tidak memiliki karakteristik seperti yang terlihat pada tipe
perilaku A. Orang yang memiliki tipe perilaku B tidak mudah terkena stres,
lebih mudah dalam menjalani kehidupannya, memiliki ketenangan dan tidak tergesa-gesa
dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian seorang karyawan yang tidak
memiliki tipe perilaku B tidak rentan terhadap gangguan koroner, sehingga
pekerjaan yang dilakukan lebih memberikan kepuasan dalam bekerja. Salah satu
faktor yang mendorong timbulnya kepuasan kerja seorang karyawan adalah
kepribadian yang ditampilkan atau tampak melalui tipe perilaku yang ditampilkan
oleh seorang karyawan pada saat melakukan pekerjaannya. Dari uraian di atas,
maka dapat diduga terdapat hubungan positif antara tipe perilaku dengan
kepuasan kerja karyawan. Makin kuat tipe perilaku B yang ditampilkan seorang
karyawan dalam menghadapi berbagai tekanan, ancaman dan hambatan dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya maka makin puas karyawan dalam bekerja.
3. Hubungan
Antara Pemenuhan Harapan Penggajian dengan Kepuasan Kerja
Manusia bekerja mempunyai tujuan, antara lain untuk
mendapatkan penghasilan agar kebutuhan dan keinginannya dapat terpenuhi dengan
baik. Kepuasan kerja adalah respons umum karyawan berupa perilaku yang
ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Dengan kata lain kepuasan kerja adalah
seperangkat perasaan karyawan tentang hal menyenangkan atau tidak menyenangkan
pekerjaan yang dilakukan, baik didasarkan atas imbalan material maupun
psikologis.
Seorang karyawan akan mendapat kepuasan kerja jika
ia mempersepsikan bahwa imbalan yang diterima baik berupa gaji, insentif,
tunjangan dan penghargaan lainnya yang tidak berbentuk materi atas pelaksanaan
pekerjaan yang dilakukan nilainya lebih tinggi daripada pengorbanannya berupa
tenaga dan ongkos yang telah dikeluarkan untuk melakukan pekerjaan itu.
Kelebihan yang didapat masih cukup untuk dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup
diri keluarga (bagi yang telah berkeluarga) serta kebutuhan lain. Kepuasan
kerja akan didapat jika ada kesesuaian antara harapan penggajian karyawan
dengan besarnya imbalan yang diterima, baik yang berupa materi maupun non
materi.
Dari uraian di atas, dapat diduga terdapat hubungan
antara pemenuhan harapan penggajian karyawan dengan kepuasan kerja karyawan
tersebut. Artinya, makin sesuai pelaksanaan penggajian dengan harapan karyawan
yang didasarkan atas kebutuhan minimalnya, makin besar kepuasan kerjanya.
·
MENCEGAH
DAN MENGATASI KETIDAKPUASAAN KERJA
Banyak cara untuk mengatasi serta mencegah
ketidakpuasaan kerja, dari uraian yang telah ada kita dapat menggambarkan
bahwasannya arti seorang karyawan dalam suatu perusahaan maupun institusi
merupakan penting artinya bagi kelangsungan dan perkembangan perusahaan
tersebut. Maka untuk mengindari adanya ketidakpuasan kerja yang dialami
karyawan, para supervise, manajer, maupun pimpinan harus mempunyai kepekaan
terhadap kebutuhan-kebutuhan karyawan baik psikologisnya maupun materi yang
dapat mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya ketidakpuasan kerja. Jangan
sampai terjadi seperti kasus yang telah diuraikan.
1. Menurut Model Theory of Work Adjustment terdapat
20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik
yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
a. Ability
Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
b. Achievement adalah
prestasi yang dicapai selama bekerja.
c. Activity adalah
segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d. Advancement adalah
kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e. Authority adalah
wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f. Company
Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi
karyawan.
g. Compensation adalah
segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan
h.
Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i. Creativity adalah
kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
j. Independence adalah
kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k. Moral
values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan
pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l. Recognition adalah
pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m. Responsibility, tanggung
jawab yang diemban dan dimiliki.
n. Security, rasa
aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o. Social
Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p. Social
Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari
pekerjaan.
q. Supervision-Human
Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap
pekerjanya.
r. Supervision-Technical adalah
bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
s. Variety adalah
variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
t. Working
Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan
pekerjaannya.
2. Menurut Jewell dan Siegall (1998) beberapa aspek
dalam mengukur kepuasaan kerja:
a. Aspek
psikologis, berhubungan dengan kejiwaan karyawan meliputi minat, ketentraman
kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan ketrampilan.
b. Aspek
sosial, berhubungan dengan interaksi sosial, baik antar sesama karyawan dengan
atasan maupun antar karyawan yang berbeda jenis kerjanya serta hubungan dengan
anggota keluarga.
c. Aspek
fisik, berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik
karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, pengaturan waktu
istirahat, keadaan ruangan, suhu udara, penerangan, pertukaran udara, kondisi
kesehatan karyawan dan umur.
3. Terdapat empat cara mengungkapkan ketidakpuasan
karyawan:
a. Keluar
(Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan
pekerjaan. Termasuk mencari pekerjaan lain.
b.
Menyuarakan (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkap melalui usaha
aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi termasuk memberikan saran
perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
c.
Mengabaikan (Neglect): Kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap
membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, termasuk misalnya sering absen atau
datang terlambat, upaya berkurang, kesalahan yang dibuat makin banyak.
d.
Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan
menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela
perusahaan terhadap kritik dari luar dan percaya bahwa organisasi dan manajemen
akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi.
e.
Kesehatan : Meskipun jelas bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kesehatan,
hubungan kausalnya masih tidak jelas. Diduga bahwa kepuasan kerja menunjang
tingkat dari fungsi fisik mental dan kepuasan sendiri merupakan tanda dari
kesehatan. Tingkat dari kepuasan kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan
sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya
penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif.
4. Cara lainnya untuk mencegah terjadinya
ketidakpuasan kerja pada karyawan adalah dengan melihat apa saja yang menjadi
elemen atau aspek-aspek pendukung dalam sikap kerja. Menurut Osada (2000),
aspek-aspek yang mendukung sikap kerja karyawan dibagi menjadi 5 hal penting.
Tujuannya, untuk menciptakan suatu sikap kerja yang sesuai kebiasaan yang baik
dan perilaku yang baik sehingga karyawan dapat bekerja dengan lancar dan
mematuhi peraturan. Lima aspek tersebut, diantaranya :
a.
Pemilahan (seiri) → Pemilahan berarti memilah segala sesuatu dengan
aturan atau prinsip tertentu. Langkah yang harus ditempuh adalah membagi segala
sesuatu ke dalam kelompok sesuai dengan urutan kepentingannya dan membaginya
dengan memutuskan mana yang penting dan mana yang sangat penting. Pemilahan
merupakan dasar dari sikap kerja.
b. Penataan
(seiton) → Penataan bertujuan untuk menghilangkan proses pencarian. Yang
diutamakan adalah penghapusan proses pencarian dan manajemen fungsional dengan
cara mendasarkan pada seberapa banyak yang bisa disimpan dalam pikir/otak dan
bertindak dengan cepat.
c.
Pembersihan (seiso) → Pembersihan merupakan salah satu bentuk
pemeriksaan. Yang diutamakan dalam pembersihan adalah pemeriksaan terhadap
tindakan yang dilakukan dan menciptakan sikap kerja yang tidak memiliki cacat
ataupun cela. Prinsipnya adalah pemeriksaan dan tingkat kebersihan.
d.
Pemantapan (seiketsu) → Pemantapan berarti terus menerus dan secara
berulang-ulang memelihara pemilahan, penataan dan pembersihannya.. Prinsip dari
pemantapan adalah inovasi dan manajemen diri untuk mencapai dan memelihara
kondisi yang sudah dimantapkan sehingga dapat bertindak dengan cepat.
e.
Pembiasaan (shitsuke) → Pembiasaan berarti menanamkan kemampuan untuk
melakukan sesuatu dengan cara yang benar. Prinsip yang digunakan adalah
menciptakan suatu sikap kerja yang sesuai lewat kebiasaan dan perilaku yang
baik sehingga nantinya karyawan dapat bekerja dengan baik dan mematuhi
peraturan.
Kesimpulan
:
Jadi menurut Strauss dan Sayles dalam Handoko
(2001:196) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak
memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan
pada gilirannya akan menjadi frustasi. Banyak cara untuk mengatasi serta
mencegah ketidakpuasaan kerja, dari uraian yang telah ada kita dapat
menggambarkan bahwasannya arti seorang karyawan dalam suatu perusahaan maupun
institusi merupakan penting artinya bagi kelangsungan dan perkembangan
perusahaan tersebut. Maka untuk mengindari adanya ketidakpuasan kerja yang
dialami karyawan, para supervise, manajer, maupun pimpinan harus mempunyai
kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan karyawan baik psikologisnya maupun materi
yang dapat mengurangi atau bahkan mencegah terjadinya ketidakpuasan
kerja.
Daftar
Pustaka:
Kreitner,
Robert & Kinicki., Anggelo. 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta : Salemba
Empat.
Mangkunegara,
Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung : Refika
Aditama.
Wexley,
K.N., Yukl, G.A.. 1977. Organizational Behavior and Personal Psychology
Richard D.
Irwin Inc.. Homewood: Illinois.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar