Rabu, 29 April 2015

Hubungan Kesehatan Mental dengan Spiritual



Istilah kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan mentaladalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kesehatan mental seseorang sangat erat kaitannya dengan tuntutan-tuntutan masyarakat tempat ia hidup, masalah-masalah hidup yang dialami, peran sosial dan pencapaian-pencapaian sosialnya.
Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental memiliki pengertian kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri sesuai tuntutan kenyataan di sekitarnya. Tuntutan kenyataan yang dimaksud di sini lebih banyak merujuk pada tuntutan yang berasal dari masyarakat yang secara konkret mewujud dalam tuntutan orang-orang yang ada di sekitarnya. M. Jahoda, seorang pelopor gerakan kesehatan mental, memberi definisi kesehatan mental yang rinci. Dalam definisinya, kesehatan mental adalah kondisi seseorang yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam menghadapi dan mengatasi masalah dengan mempertahankan stabilitas diri, juga ketika berhadapan dengan kondisi baru, serta memiliki penilaian nyata baik tentang kehidupan maupun keadaan diri sendiri. Definisi dari Jahoda mengandung istilah-istilah yang pengertiannya perlu dipahami secara jelas yaitu penyesuaian diri yang aktif, stabilitas diri, penilaian nyata tentang kehidupan dan keadaan diri sendiri.
Pengertian Spiritual
Menurut Kamus Bahasa Online, kata Spiritual adalah kata sifat (adjective) yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin),  dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, kekudusan, sesuatu yang suci, keagamaan, dll.
Dalam istilah bahasa Indonesia, perubahan kata spiritual bisa menjadi:
·         spiritualisasi yaitu, pembentukan jiwa
·         spiritualisme yang memiliki beberapa pengertian seperti: kepercayaan memanggil roh orang mati, aliran filsafat atau faham yang mengutamakan kerohanian, spiritisme, dll.
·         Spiritualitas yaitu, semangat jiwa tentang sesuatu.

Hubungan Kesehatan Mental dan Spiritualitas
Dunia modern dengan mobilitas yang cukup tinggi telah mengukir kisah sukses secara materi. Namun, tampaknya kemakmuran secara materi itu tidak cukup membuat makmur kehidupan secara spiritual. Modernisme gagal karena ia telah mengabaikan nilai-nilai spiritual sebagai pondasi kehidupan.
Islam lebih awal memulai dengan penawaran ajarannya yang dapat menentramkan kehidupan rohani manusia. Maka dari itu keagamaan dapat membantu mengatasi persoalan gangguan jiwa secara signifikan, mengingat bahwa persoalan tidak hanya bersifat psikologis saja tetapi juga spiritual.
Selain kehidupan materialistis masih ada kehidupan spiritual yaitu kehidupan kerohanian. Kebutuhan manusia selain kebutuhan biologis, sosial juga mempunyai kebutuhan spiritual/kerohanian, yaitu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sang Maha Ada, Sang Maha Kuasa.
Dengan menyerahkan diri kepadanya-Nya dengan kepercayaan bersujud dengan caranya sendiri-sendiri dengan kepercayaan (agama) masing-masing niscaya akan mendapat ketentraman. Segala derita atau kesusahan disertakan kepada-Nya. Bagi yang baru menderita dapat rela menerima kenyataan sebagaimana takdir-Nya dapat memperoleh keseimbangan mental.
Kehidupan spiritual sangat penting kaitannya dengan kesehatan mental. Karena spiritual menghindarkan seseorang dari stressor dan membuat pikiran seseorang yang mengalami stres masih dapat berpikir rasional dan mengingat Tuhan.
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi sehingga akan dapat memunculkan perasaan positif pada kesehatan mental seseorang.


Child Abuse



Child abuse didefinisikan sebagai perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugikan atau bahaya terhadap anak secara fisik dan mental. Faktor penyebab utamanya child abuse adalah Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum lemah, memerlukan pengorbanan biaya dan pengorbanan mental yang sangat tinggi cenderung membuat korban menghindariproses hukum. Proses hukum yang rumit dan berbelit-belit, penanganan yang keraptidak manusiawi, dan ancaman hukuman minimal 3 tahun maksimal 15 tahun membuatkasus-kasus kekerasan seksual tenggelam selama bertahun-tahun dan membiarkanpara korbannya tumbuh tanpa intervensi psikologis yang tepat. Sejak kasus RGtahun 1996, kasus kekerasan seksual kepada anak jalanan, praktis semua pihakbelum cukup melakukan tindakan yang berarti. Saat negara lain sudah beranimenerapkan ancaman hukuman mati, kebiri, sistem ‘black list’ serta berbagaikebijakan untuk menahan laju dan ledakan kekerasan seksual, Indonesiaseolah-olah jalan di tempat terutama karena ada budaya malu dan tidak beranimengakui fakta ini sebagai masalah besar. Sudah sangat mendesakadanya daftar pelaku dan korban kekerasan seksual yang tidak hanya mencatatnama, alamat, identitas lain dan wajah, namun menggunakan metode fingerprintyang disimpan oleh institusi Negara demi menjaga kerahasiaannya. Masyarakatyang ingin merekrut pegawai untuk bekerja di fasilitas anak dapat mengirimkandata fingerprintnya ke institusi Negara untuk memperoleh kepastian apakah yangbersangkutan memiliki riwayat kekerasan seksual atau tidak. Dalam hal ini, kamisangat yakin bahwa praktek ini sudah sangat dimungkinkan dengan perkembanganteknologi saat ini. Satu-satunya hambatan adalah masalah HAM yang seharusnyabisa diatasi dengan metode kerahasiaan data dan penyimpanan di institusiNegara. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus dibawah ini.

Saya adalah siswa SDN 118187 rantau prapat,ketika itu saya menduduki kelas 5 SD,saya pernah menjadi korban kekerasan di dunia pendidikan.

Guru sering disebut dalam bahasa jawa ditiru. Jadi, seorang guru itu perlu menjaga tingkah lakunya, karena seorang guru itu menjadi panutan bagi anak didiknya. Lain hal dengan seorang Guru  matematika SDN 118187 rantau prapat, Dia bukan termasuk kategori Guru yang patut  di tiru. Begitu herannya, bisa-bisanya seorang guru memukul dan menyodomi seorang siswa laki-laki , hal tersebut saya dapatkan ketika saya berada di bangku kelas 5 SD. Ia memukul dan menyodomi saya dengan alasan saya bandal, tidak mau diam, padahal teman-teman saya semua juga ribut.Kasus ini bukan merupakan kasus kekerasan di dunia pendidikan Indonesia. Cukup banyak korban kekerasan di dunia pendidikan. Kira kira mengapa masih terus saja terdengar rentetan kasus kekerasan di dunia pendidikan yang hampir serupa?
Analisisnya menurut saya,Secara Ilmu Psikologi Contoh kasus kekerasan pendidikan diatas tergolong kategori perilaku agresi. Bisa dikatakan Perilaku agresi, karena seseorang memberikan stimulus tidak menyenangkan yang merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991 yang menyatakan bahwa agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis.

            Jika kita pandang dari salah satu teori agresi yang dipelopori Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991) yaitu Frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) perilaku yang dilakukan oleh guru Agama di Bandung Bisa timbul akibat sebuah masalah yang tidak teratasi dan memicu timbulnya frustasi yang pada akhirnya dapat memunculkan perilaku penyaluran agresivitas pada situasi yang kurang tepat.
           
Menurut teori psikoanalisa, struktur jiwa manusia dibagi menjadi tiga, yaitu superego, ego dan id. Superego bekerja berdasarkan prinsip ideal (yang seharusnya). Isi superego adalah segala perintah dan larangan yang dibatinkan (internalisasi) dari orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa (juga ajaran agama) bagi si anak. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita. Egolah yang terutama menggerakkan perilaku sadar individu. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan/kesenangan. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki ego yang kuat sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun superegonya.
Pada dasarnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup (eros) dan dorongan untuk mati (thanatos). Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud dispesifikkan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman prakteknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido ini yang mengisi energi pada id.

Pada bagian lain, energi superego berasal dari thanatos. Itulah sebabnya mengapa orang yang superegonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi thanatos diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi thanatos diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan.

 Daftar Pustaka